Selasa, 01 Februari 2011

al-Asy’ari Bukan Yang Pertama Membantah Ahli Bid’ah

”Sebuah tanggapan atas buku madzhab al Asy’ari”[1]

Oleh: Choirul Ansori (PB Syabab Ahlussunnah wal Jamaah Jakarta)

  1. A. Pendahuluan

Al Asy’ari adalah Imam ahlussunnah wal jama’ah, penggagas madzhab ahlussunnah. Beliau tidak membawa ajaran baru tapi beliau yang merilis kembali ajaran-ajaran ahlussunnah disertai dengan argumen-argumennya baik ...secara naqli ataupun aqli. Beliaulah yang menegakkan kembali kepala ahlussunnah setelah sebelumnya tertunduk di bawah bayang-bayang paham mu’tazilah. Al Ustadz Abu al Qasim al Qusyairi mengatakan: “Ashhabul hadits sepakat bahwa al Asy’ari salah satu imam ahli hadits dan madzhabnya adalah madzhab ahli hadits, beliau berbicara dalam ushuluddin menurut metode ahlussunnah. Beliau orang yang gigih dan tegas dalam membantah ahli bida’ dan mu’tazilah. Barang siapa yang mencelanya, melaknatnya, mencacinya maka sesungguhnya ia telah mencela seluruh ahlussunnah”. Karena pengikut al Asy’ari adalah pengikut ahlussunnah yang terkenal dengan sebutan asya’irah atau asy’ariyah sebagaimana pernyataan al Zabidi: “Apabila disebutkan lafadz ahlussunnah maka yang dimaksud adalah asya’irah dan maturidiyah”.[2]

Akan tetapi belakangan muncul pernyataan yang mendeskreditkan al Asy’ari dan pengikutnya (asy’ariyah) bahkan golongan tersebut berani untuk menyebutkan bahwa mereka bukan ahlussunnah. Lebih ekstrim lagi pernyataan mereka yang mengatakan bahwa kaum ahlussunnah mengkafirkan pengikut al Asy’ari.[3] Dari sini muncul pertanyaan; siapakah golongan yang mengkafirkan kaum asy’ariyah?. Benarkah klaim mereka yang mengatakan bahwa al Asy’ariyah bukan ahlussunnah?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas bisa dengan beberapa cara, pertama dengan argumentasi al Qur’an dan hadits atau kedua dengan kajian sejarah. Metode yang pertama jelas membutuhkan pemaparan doktrin yang dikaitkan dengan kebenarannya menurut kaca mata syara’; al Qur’an dan hadits serta pendapat para ulama. Metode yang kedua melalui pendekatan kajian sanad keilmuan dengan melihat masing-masing individu secara detail. Penulis lebih memilih untuk menjawab pertanyaan di atas dengan menggunakan metode yang kedua dengan beberapa alas an; pertama sanad merupakan sebuah maziyyah yang hanya terdapat dalam kazanah keilmuan Islam. Kedua, kajian kita kali ini adalah kajian tokoh dan ajarannya yang telah membumi sampai sekarang, jelas berhubungan erat dengan ruang lingkup keilmuan yang melatarbelakanginya dan mata rantai sanad keilmuannya. Karenanya, kajian sanad keilmuan terkadang diperlukan untuk legitimasi kebenaran sebuah aliran. Misalnya, sebuah thariqat tidak akan diakui kemurniannya apabila tidak memiliki sanad yang jelas. Sebuah hadits juga bisa dihukumi dlaif apabila sanadnya terputus juga demikian halnya sebuah aliran akan dipertanyakan legitimasinya jika tanpa sanad yang valid. Karena pentingnya sanad sehingga dimasukkan dalam criteria keshahihan sebuah hadits. Ibn al Mubarak mengatakan: “Sesungguhnya sanad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa sanad maka orang akan mengatakan perkataan semaunya”. Jelas sanad sangat diperlukan dan merupakan bagian dari sejarah sedangkan sejarah tidak akan bohong.

  1. B. Golongan Wahabi: “Siapakah mereka?”

Berbicara tentang asy’ariyah pada dekade terakhir tidak bisa lepas dari golongan wahabi. Karena golongan ini yang paling vokal menyerukan bahwa al Asy’ari dan para pengikutnya sesat. Kalau kemudian ada pendapat di antara mereka bahwa ada perbedaan ideologi antara al Asy’ari sebagai pendiri dan asya’irah sebagai pengikutnya, maka secara generik jawabannya; bahwa pengikut al Asy’ari dari generasi ke generasi bukanlah hanya orang awam yang tidak mengetahui dasar ideologi al Asy’ari. Jelas yang mengetahui doktrin al Asy’ari adalah Asya’irah. Pada kajian berikutnya, penulis akan menyebutkan sebagian ulama yang intisab kepada al Asy’ari. Sungguh kecil kemungkinan atau lebih tepat dikatakan mustahil bahwa mereka tidak mengetahui al Asy’ari telah bertaubat (versi wahabi) sedangkan mereka mengaku pengikut al Asy’ari. Bukankah Rasulullah bersabda:

لاتزل طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لايضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله

“Segolongan dari umatku akan senantiasa dalam kebenaran tidak akan goyah oleh mereka yang menentangnya hingga datangnya hari kiamat”

Artinya, pada setiap masa dan generasi dari umat Muhammad pasti ada golongan yang senantiasa dalam kebenaran. Lebih jelasnya bahwa sanad keilmuan mereka akan senantiasa terjaga karena sudah menjadi tradisi di kalangan ulama bahwa menuntut ilmu dengan cara talaqqi. Kalau dikatakan para pengikut al Asy’ari sesat maka pertanyaan yang timbul siapakah yang dimaksud selalu dalam kebenaran sejak meninggalnya Rasulullah hingga kini?. Apakah golongan wahabi yang baru muncul tiga abad yang lalu? Kalau itu yang terjadi bagaimana keadaan umat Islam sebelum munculnya golongan ini?

Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab. Sebuah gerakan separatis yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222H). Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan menjauhkan umat manusia dari kemusyrikan. Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap bahwa selama 600 tahun umat manusia dalam kemusyrikan dan dia datang sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka.[4] Gerakan wahabi muncul melawan kemapanan umat Islam dalam masalah aqidah dan syariah, karenanya gerakan ini tersebar dengan peperangan dan pertumpahan darah. Dengan dukungan dari Hijaz bagian timur yaitu raja Muhammad ibn Saud raja ad Dir’iyah,[5] pada tahun 1217 H Muhammad ibn Abdul Wahhab bersama pengikutnya mengusai kota Thaif setelah sebelumnya mereka membunuh penduduknya, tidak ada yang selamat kecuali beberapa orang.[6] Mereka membunuh laki-laki dan perempuan, tua, muda, anak-anak, bahkan bayi yang masih menyusu pada ibunya juga mereka bunuh. Mereka keluarkan semua penduduk Thaif, bahkan yang sedang shalat di masjid juga mereka bantai. Mereka rampas semua harta dan kekayaan penduduk Thaif dan mereka musnahkan semua kitab yang ada hingga berserakan di jalanan.[7]

Dari Thaif kemudian mereka memperluas kekuasaannya ke beberapa kota seperti Mekkah, Madinah, Jeddah dan kota-kota lainnya. Hingga akhirnya pada tahun 1226 H Sultan Mahmud Khan II turun tangan dengan memerintahkan Raja Mesir Muhammad Ali Basya untuk membendung gerakan Wahabi ini. Dengan kekuatan pasukannya dan kegigihan Raja Muhammad Ali Basya sampai akhirnya mereka dapat mengambil alih kota Thaif, Mekkah, Madinah dan Jeddah dari kekuasaan golongan Wahabi.[8]

Dari segi sanad keilmuan, Muhammad ibn Abdul Wahhab lebih banyak mengambil dari pendapat Taqiyyuddin Ahmad ibn Taimiyyah al Harrani. Jadi jelas tidak ada mata rantai sanad yang bersambung karena Ibn Taimiyyah hidup pada abad ke delapan hijriyah sedang Muhammad hidup pada abad ke dua belas. Apalagi Muhammad pernah mengatakan bahwa guru-gurunya tidak ada yang mengetahui makna لاإله إلا الله, kalau itu yang terjadi bagaimana ia memahami tauhid?. Apakah hanya sekedar membaca atau buah dari pergolakan pemikirannya sendiri?.[9] Jika benar demikian, bagaimana ia mengklaim bahwa golongannya yang paling benar padahal sanad keilmuannya tidak jelas.

  1. C. Para Mutakallim Dari Generasi Salaf

Istilah salaf adalah sebutan bagi mereka yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. Tiga abad pertama tersebut adalah sebaik-baik abad dan umat Islam yang hidup pada masa tersebut secara global adalah sebaik-baik umat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:

خَيْرُ القُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abdku kemudian abad mereka yang datang setelahnya kemudian abad mereka yang datang setelanya”[10]

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para ulama yang hidup pada tiga abad pertama adalah sebaik-baik ulama. Karenanya, dalam masalah agama kita banyak merujuk pada mereka. Baik dalam masalah Aqidah maupun dalam masalah Fiqih. Karena di samping menguasai sumber-sumber ajaran Aqidah mereka juga sebagai rujukan dalam masalah Fiqih. Sebut saja mulai kalangan para sahabat; Ali ibn Abi Thalib (10 SH-50H) yang membantah kaum khawarij dalam masalah al wa’d wal al wa’id dan juga membantah kaum qadariyah dalam masalah qada’, qadar, al masyi-ah dan al istitha’ah, Abdullah ibn Umar (10 SH-74H) yang membantah kaum qadariyah dan pimpinan mereka Ma’bad al Juhani.

Mutakallim ahlussunnah dari kalangan tabi’in; Umar ibn Abdul Aziz (61H-101H) yang menulis risalah dalam membantah al qadariyah, Zaid ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib yang menulis bantahan terhadap qadariyah, al Hasan al Bashri (21H-110H) yang menulis celaan terhadap qadariyah dalam risalahnya yang ditujukan kepada Umar ibn Abdul Aziz, al Zuhri, kemudian generasi berikutnya; Ja’far ibn Muhammad al Shadiq yang menulis kitab bantahan terhadap qadariyah dan khawarij, dialah yang mengatakan: “Kaum Mu’tazilah ingin mengesakan Tuhannya akan tetapi justru mereka menyimpang (ilhad) dan ingin bersikap bijaksana akan tetapi justru mereka menisbatkan sifat bukhl (kikir) pada Tuhannya”.

Mutakallim ahlussunnah dari kalangan ahli fiqh dan ulama madzhab; al Imam Abu Hanifah (80-150 H) seorang mujtahid pendiri madzhab juga banyak menulis kitab yang membahas masalah Aqidah, di antaranya al Fiqh al Akbar, al Fiqh al Absat, al Washiyah, al ‘Alim wa Muta’allim, al Risalah dan Khamsah Rasail fi al Aqidah.[11] Kitab al Fiqh al Akbar sebagai bantahan terhadap kaum qadariyah, al Imam al Syafi’i, kemudian murid-murid al Syafi’I yang menguasai fiqh dan ilmu kalam seperti al Harits ibn Asad al Muhasibi (w. 243H) yang kitab-kitabnya dalam masalah kalam, fiqh dan hadits menjadi rujukan para mutakallim, fuqaha’ dan shufiyyah, Abu Ali al Karabisi yang karya beliau dalam masalah kalam menjadi referensi para mutakallim untuk mengetahui madzhab khawarij dan aliran-aliran sesat lainnya dan kitabnya dalam masalah fiqh an ‘ilal al hadits menjadi rujukan ulama fiqh dan hadits, Harmalah al Buwaithi, Dawud al Ashbahani (201-270H) dan Abu al ‘Abbas ibn Suraij (w. 340H).

Para mutakallim ahlussunnah pada masa al Makmun; Abdullah ibn Sa’id al Tamimi yang membungkam kaum Mu’tazilah di majlis al Makmun, juga muridnya Abdullah ibn Sa’id Abdul Aziz al Makki al Kattani yang melakukan hal yang sama di depan al Makmun, kemudian muridnya al Husain ibn al Fadl al Bajali yang menjadi rujukan para ulama dalam bidang tafsir, al Junaid al Baghdadi juga murid Abdullah ibn Sa’id seorang pemuka para shufiyah pada masanya yang menulis risalah tauhid menggunakan metode mutakallim digabungkan dengan istilah-istilah kaum shufi. Kemudian setelahnya Imam al Huda Abu al Hasan al Asy’ari (260-333H) yang membantah kaum Qadariyah, al Najjariyah, al Jahmiyyah, al Jismiyyah dan al Khawarij, kemudian diikuti oleh murid-muridnya seperti Abu al Hasan alBahili dan Abu Abdullah ibn Mujahid (w. 370H), dari keduanya kemudian muncul mutakallim ahlussunnah semisal Qadli al Qudlat Abu Bakr Muhammad ibn al Thayyib al Baqillani (338-403H), Abu Bakr ibn al Husain ibn Furak (W. 406H) dan Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad al Mahrawi.[12]

Disamping al Asy’ari pada masanya juga hidup beberapa ulama sunni kenamaan, di antaranya adalah Al Imam Abu manshur al Maturidi (W 333H) dan al Imam Abu Ja’far al Thahawi (227- 321H). Al Imam Abu Manshur al Maturidi adalah salah satu Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau di samping terkenal keilmuannya dalam masalah Aqidah beliau juga belajar ilmu fiqh Madzhab Hanafi. Beliau belajar kepada Abu Nashr al ‘Iyadhi dan Abu Bakr al Juzjani al Isma’ili (277H-371H), keduanya adalah murid Abu Sulaiman al Juzjani. Abu Sulaiman al Juzjani adalah murid dari Abu Yusuf al Qadhi dan Muhammad al Syaibani, keduanya adalah murid al Imam Abu Hanifah. Karenanya kitab-kitab yang menulis biografi al Imam al Maturidi menyebutkan bahwa beliau bermadzhab Hanafy.[13] Permasalahan-permasalahan Aqidah yang terdapat dalam karya al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dan al Imam Abu Manshur al Maturidy diambil dari pokok-pokok Aqidah para Imam madzhab. Al Asy’ari banyak merujuk pada madzhab al Imam Malik dan al Imam al Syafi’i, sedangkan al Maturidi banyak merujuk pada nash-nash madzhab Abu Hanifah.[14]

Al Imam Abu Ja’far al Thahawi penulis al Aqidah al Thahawiyah; sebuah karya monumental yang menjadi rujukan dalam bidang aqidah oleh umat Islam dari generasi ke ge generasi. Hal ini menjadi sebuah kebenaran sejarah yang tak terbantahkan bahwa muatan aqidah thahawiyah disepakati kebenarannya oleh umat Islam. Rasulullah bersabda:

إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة

“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan”

Beliau pernah belajar fiqih pada al Imam al Muzani salah seorang murid al Imam Syafi’i. Kemudian setelah itu belajar madzhab Hanafi pada Abu Ja’far Ahmad ibn Abi ‘Imran, karena beliau menyebutkan dalam muqaddimah kitab al Aqidah al Thahawiyah: “Ini adalah penjelasan Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah berdasarkan madzhab ulama fiqih: Abu Hanifah al Nu’man ibn Tsabit al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al Anshari (113H-182H) dan Abu Abdillah Muhammad ibn al Hasan al Syaibany” (135H-189H).

Penyebutan nama tiga ulama madzhab pada muqaddimah kitabnya dimaksudkan bahwa dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah beliau mengikuti metode yang telah digagas oleh tiga ulama madzahb tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa al Imam Abu Ja’far hanya ingin menyebutkan aqidah ulama madzhab Hanafi saja, akan tetapi beliau dengan tegas mengatakan bahwa aqidah yang beliau tulis adalah Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara keseluruhan. Terbukti bahwa Aqidah Thahawiyah dipelajari dan diajarkan oleh para ulama Ahlussunnah dari generasi ke generasi. Sebut saja hampir 20 ulama Ahlussunnah yang menulis syarah dari kitab tersebut.

Dari uraian di atas ada benang merah yang dapat kita ambil yaitu ketika kita berintisab kepada al Asy’ari maka sebenarnya kita telah berintisab kepada salah seorang ulama salaf yang mempunyai jaringan keilmuan kepada ulama-ulama salaf yang lainnya. Jadi, pengakuan kita bahwa kita salafi yang sebenarnya adalah sah dan logis. Berbeda dengan mereka yang mengklaim diri mereka salafi akan tetapi justru mereka tidak merujuk kepada ulama salaf dan bahkan tidak mempunyai mata rantai sanad yang shahih kepada ulama salaf. Bagaimana mungkin mereka akan mempunyai sanad keilmuan kepada para ulama salaf kalau mereka mengharamkan bermadzhab dan bahkan mengkafirkan orang yang bermadzhab. Pertanyaannya; apakah setiap orang bisa berijtihad? Bagaimana kita akan mengenal madzhab seorang Imam Mujtahid apabila kita tidak tafaqquh kepada para ulama.[15]

  1. D. Al Asya’irah Dari Masa ke Masa

Abu al Hasan al Bahili, al Hafidz Abu Ishaq, al Hafidz Abu Nu,aim al Ashbahani, al Qadli Abd al Wahhab al Maliki, al Syekh Abu Muhammad al Juaini, putranya Abu al Ma’ali Abdul Malik al Juaini Imam al Haramain (419H-478H), Abu Manshur al Tamimi al Bahgdadi (w. 429), al Hafidz al Daruquthni, al Hafidz al Khatib al Baghdadi (372H-463H), al Ustadz Abu al Qasim al Qusyairi (376H-465H), putranya Abu Nashr al Qusyairi, al Syekh Abu Ishaq al Syairazi (393H-476H), Nashr al Maqdisi, al Farawi, Abu al Wafa’ ibn ‘Aqil al Hanbali, al Qadhi Ibn Farhun al Maliki, al Qaidhi Abu Bakr Muhammad ibn al Thayyib al Baqillani, al Hafidz Ibn Furak, Abu Hamid al Ghazali (450H-555H), Abu al Fath al Syahrastani (479-548H), al Imam Abu Bakr al Syasyi al Qaffal, Abu ‘Ali al Daqqaq al Naisaburi, al Hakim al Naisaburi, Qadhi al Qudhat al Damaghani al Hanafi, Abu al Walid al Baji, al Hafidz Abu al Qasim Ibn ‘Asakir, Ibn al Sam’ani, al Hafidz al Silafi, al Qadhi ‘Iyadh, al Nawawi, al Imam Fakhruddin al Razi (544-606H), al ‘Izz bin Abd al Salam (577H-660H), Abu ‘Amr ibn al Hajib al Maliki, Ibn Daqiq al ‘Id, al Imam ‘Ala-iddin al Baji, Qadi al Qudhat Taqiyyuddin al Subki (683-756H), al Hafidz al ‘Ala-i, al Hafidz Zainuddin al ‘Iraqi, putranya al Hafidz Waliyuddin al ‘Iraqi, al Syekh Muhammad ibn Manshur al Hudhudi, al Syekh Abu Abdillah Muhammad al Sanusi (832-895H), al Hafidz Muhammad Murtadha al Zabidi, al Syekh Zakaria al Anshari, al Syekh Bahauddin al Rawwas al Shufi, Mufti Makkah Ahmad ibn Zaini Dahlan (1231-1304H), Musnid India Waliyuddin al Dahlawi, Mufti Mesir Muhammad ‘Illasy al Maliki, Syekh al Azhar Abdullah al Syarqawi, Abu al Mahasin al Qawuqji, al Syekh Husain al Jisr al Tharabulsi, al Syekh Abd al Basid al Fakhuri, al Syekh Abu Muhammad al Malibari al Hindi pengarang kitab al ‘Aqaid al Sunniyah bi Bayan al Thariqah al Asy’ariyah, al ‘Allamah ‘Alawi ibn Thahir al Hadrami al Haddad, al ‘Allamah al Faqih al Habib ibn Husain ibn Abdullah Balfaqih dab Syekh Abdullah al Harari (1329-1429H).

Dari kalangan penguasa di antaranya al Wazir Nidham al Mulk al Thusi (408H-485H), Sulthan Shalahuddin al Ayyubi (532H-589H), Sulthan Khalil ibn Manshur Saifuddin Qalawun (W. 689H) dan semua raja-raja bani mamalik. Juga Sulthan Muhammad al ‘Utsmani al Fatih (835H-886H) (Panglima perang pasukan pembebasan konstantinopel).

Penyebutan nama-nama para ulama di atas bukan tanpa alas an akan tetapi menjadi bukti bahwa madzhab al Asy’ari diikuti oleh para ulama dari generasi ke genarasi. Nama-nama di atas hanyalah sebagian kecil dari ulama-ulama Asya’irah yang dating setelah al Asy’ari, meskipun demikian cukup untuk dijadikan dasar bahwa Asya’irah mempunyai sanad keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Terlepas dari penyebutan nama-nama para ulama yang tidak diragukan lagi kapabilitas keilmuannya, ada nama seorang sulthan yang mendapatkan isyarat baik dari Rasulullah melalui sabdanya:

لَتُفْتَحَنَّ القِسْطَنْطِيْنِيَّةَ وَلَنِعْمَ الأَمِيْرُأَمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الجَيْشُ ذَلِكَ الجَيْشُ

Maknanya: “Konstantinopel pasti akan dikuasai oleh umat Islam, dan sebaik-baik panglima adalah panglima perang yang bisa menguasainya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan tersebut” (HR. Ahmad dan al Hakim)[16]

Hadits di atas merupakan pujian terhadap pasukan perang umat Islam beserta panglimanya yang berhasil menguasai Konstantinopel (Istambul sekarang). Artinya, mereka adalah orang-orang beraqidah benar, karena mustahil Rasulullah memberi pujian terhadap orang yang beraqidah sesat. Dan panglima perang yang dimaksud adalah Sultan Muhammad Khan II yang terkenal dengan sebutan Muhammad al Fatih karena keberhasilannya membebaskan Konstantinopel. Dan sejarah menyebutkan bahwa beliau pengikut madzhab Asy’ariyah dalam aqidah. Seakan-akan pujian Rasul juga ditujukan kepada golongan Asy’ariyah bahwa mereka golongan yang benar.[17]

Pepatah Arab mengatakan:

لقد أصفر الصبح لذي عينين

“Sungguh pagi telah terang bagi yang melihat”

  1. E. Penutup

Setelah kita menganalisa bagaimana sejarah Asya’irah dalam sekala yang luas, mari kita melihat sejarah Asya’irah dalam lingkup keIndonesiaan. Karena sejarah juga menyebutkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, terlebih sebelum tahun 1330 H. Dimana saat itu belum muncul paham-paham baru, umat Islam Indonesia satu dalam keyakinan, ittihad wa al- ittifaq fi-al-ara wal al-ma’khadz wa al-masyrab (satu dan sepakat dalam pendapat, rujukan dan sumber) yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh mayoritas umat Islam Indonesia bermadzhab Syafi’i dan dalam tasawwuf bermadzhab kepada Imam Ghazali dan Imam Abu al-Hasan Sadzili,[18]serta ulama-ulama sufi lainnya seperti al-Junaid al-Baghdadi,Abdul Qadir al-Jaelani dan Syah al-Naqsyabandi. Ahlussunnah adalah Asya’irah dan Maturidiyah. [19]

Menurut KH Abu al Fadhl al Sanuri dalam kitabnya Al Kawakibul Lamma’ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlissunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa penyimpangan dalam masalah aqidah terjadi karena masuknya aliran Wahhabiyah dari Saudi Arabia. Aliran ini menghidupkan kembali pemikiran Ibnu Taimiyyah yang banyak menyimpang dari keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Kemudian aliran tersebut masuk dan menjamur di negara kita, serta menyebabkan terpecahnya umat Islam Indonesia dalam beberapa aliran.[20]

Penyimpangan pemikiran khususnya dalam bidang tasawuf muncul setelah adanya pandangan yang salah terhadap karya Ibnu ‘Arabi , terutama setelah terbitnya karya-karya Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.[21] Jadi, jaringan ulama ahlussunnah telah muncul di Indonesia lebih dulu dari pada aliran-aliran yang baru yang mengatasnamakan ahlussunnah tapi justru aqidahnya bertentangan dengan ahlussunnah itu sendiri. Atau yang menamakan dirinya salafi tapi justru bertentangan dengan ulama salaf.

[1] Disampaikan pada acara bedah buku “MADZHAB AL ASY’ARI Benarkah Ahlussunnah Wal Jama’ah?” hari kamis tanggal 28 Mei 2009 oleh PK PT IPNU-IPPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya.

[2] Murtadla al Zabidi, Ithaf as Sadah al Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulumiddin, (Beirut: Dar al Fikr), juz.2 h.6

[3] Lihat pernyataan Shaleh ibn Fauzan, Min Masyahir al Mujaddiddin fi al Islam, (Riyadl: Risalah ‘Ammah li al Ifta’), h.32, lihat juga Abdur Rahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abdul wahhab, Fath al Majid, (Riyadl: Maktabah Darus Salam), h. 353

[4] Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al Wahhabiyah, (Kiev: al Irsyad, 2005), cet.2, h. 5-6.

[5] Raja Muhammad ibn Saud berasal dari Bani Hanifah kaum Musailamah al Kadzdzab, lihat Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al Wahabiyah. Dari nama raja inilah kemudian diambil nama Kerajaan Saudi Arabia sekarang ini.

[6] Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al Wahhabiyah. h.11

[7] Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Umara’ al-Balad al-Haram, (ad Dar al Muttahidah), h.297-298

[8] Sejarah ringkas peperangan yang terjadi antara golongan Wahabi dan pasukan Muhammad Ali Basya baca Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al Wahhabiyah.

[9] Husain ibn Ghonam, Tarikh Najd (Risalah Muhammad ibn Abdul Wahhab untuk penduduk Riyadl), h. 137-138

[10] Hadits tersebut diriwayatkan oleh al Imam al Tirmidzi dalam kitab Sunannya, Kitab al Fitan – Bab Tentang Abad ke Tiga-.

[11] Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, (Beirut: Dar al Masyari’), h. 22

[12] Lihat pemaparan tentang silsilah sanad keilmuan ahlussunnah al Baghdadi, Ushuluddin, (Kairo: Dar Syuruq), h. 307-309

[13] Jam’un min al Ulama, Al Jawhar al Tsamin, (Beirut: Dar al Masyari’), h. 212-213

[14] Murtadha al Zabidi, Ithaf al Sadah al Muttaqin, (Beirut: Dar al Fikr), juz 2, hal. 13

[15] Lihat Muhammad Sulthan al Ma’shumi al Makky, Hal al Muslim Mulzamun bit Tiba’i Madzhabin Mu’ayyanin min al Madzahib al Arba’ah, h. 6 dia sebutkan bahwa orang yang bermadzhab harus disuruh bertaubat kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh, dan h. 11 dia mengatakan: Apabila ditelusuri dengan benar permasalahan madzhab maka sesungguhnya madzhab tersebut berkembang dan menyebar karena bantuan musuh Islam.

[16] Diriwayatkan oleh al Imam Ahmad dalam Musnadnya dan al Hakim dalam Mustadrak.

[17] Lihat al Jauhar al Tsamin, Litbang al Masyari’, (Beirut: Dar al Masyari’, 2002), cet. 1

[18] K.H Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al Jama’ah fi al-Hadits al-Mauta wa Asyrot al Sa’ah wa Bayan mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, (jombang:Maktabah alturats al-islami,1418 H).cet ke-1, h.3

[19] Sebagaimana disebutkan oleh Rais Akbar Jam’iyyah Thariqah al Mu’tabarah KH. Baidlawi bin Abdul Aziz dalam khutbah pembukaan Muktamar ke 2 pada tahun 1959.

[20] Munculnya Syarikat Islam (thn 1908) dan Muhammadiyah (thn 1912) disinyalir adalah kepanjangan dari pemikiran Wahhabiyah. Untuk lebih jelasnya lihat kitab Al Kawakibul Lamma’ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlissunnah wal Jama’ah karya KH. Abu al Fadhl ibn KH. Abd Syakur al Sanuri (Kediri: Lerboyo, tt).

[21] Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung.Mizan, 1994).

1 komentar:

yusuf jas merah mengatakan...

syarat menjadi anggota IPNU dan cara menjadi anggota IPNU itu apa saja