Selasa, 01 Februari 2011

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Masalah keyakinan (aqidah) merupakan salah satu masalah yang fundamental dalam Islam yang menjadi pijakan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa aqidah yang kokoh dan benar tidaklah mungkin seseorang bisa mengamalkan ajaran Islam secara benar dan sempurna. Oleh karena itu dapatlah kita fahami bila pada masa permulaan dakwah Ras...ulullah, beliau lebih memprioritaskan penanaman aqidah pada umat Islam daripada ajaran-ajaran Islam yang lain. Barulah setelah keimanan mereka kokoh beliau meningkatkan kepada masalah syari’ah (ibadah), hubungan sosial (mu’amalah) maupun doktrin lainnya.

Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang paham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang, Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Namun Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah (baca: Ahlussunnah Wal Jama'ah) atau mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam, bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas.

Mengenai apa dan siapa atau kelompok mana yang berhak disebut Ahlussunnah Wal Jama'ah, berikut penjelasannya.

a. Pengertian Ahlussunnah Wal Jama'ah

Secara bahasa, kata Ahlussunnah Wal Jama'ah dapat ditelusuri sebagai berikut:

a. Ahl, menurut Fairuz Abadi dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab (ashab al-mazhab)[1] jika dikaitkan dengan aliran atau mazhab. Ahl bisa juga berarti yang memiliki, jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Dalam al-qur'an disebutkan:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون (النحل: 43)

Maknanya: "Bertanyalah kepada yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui" (Q.S. an-Nahl, 43).

Menurut pendapat lain kata ahl merupakan badal an-nisbah sehingga jika dikaitkan dengan as-sunnah mempunyai arti orang yang berpaham sunni (as-sunniyyun).

b. As-Sunnah di samping mempunyai arti al-hadits, juga mempunyai arti ath-thariqah (jalan). Dengan demikian, Ahl as-sunnah adalah orang-orang yang mengikuti jalan (thariqah) Nabi dan para sahabatnya.

c. al-Jama'ah adalah sekumpulan orang banyak. Al-jama'ah diambil dari akar kata jam' yang artinya banyak. Dengan demikian jika kita rangkaian tiga kata tersebut (Ahl as-Sunnah wal Jama'ah) maka artinya adalah sekumpulan orang banyak yang mengikuti jalan Nabi dan para sahabatnya.

Secara terminologi, kata Ahlussunnah Wal Jama'ah dapat kita pahami dari beberapa hadits-hadits Rasulullah sebagai berikut:

1. "عن أنس رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن أمتي لا تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم"

Maknanya: "Dari sahabat Anas –semoga Allah meridhainya- Rasulullah bersabda: Sesungguhnya ummatku tidak akan sepakat atas kesesatan, jika kalian mendapatkan perselisihan maka ikutlah dengan mayoritas ummat"

2. "فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ" (رواه أبو داود)

Maknanya: "Sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelah (wafat)ku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Hendaknya kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapatkan hidayah, peganglah dengan kuat dan gigitlah dengan geraham".

3. "إن بني إسرائيل تفرقت ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة، قالوا ومن هي يا رسول الله؟ قال ما أنا عليه وأصحابي" (رواه الترمذي)

Maknanya: "Sesungguhnya bani isra'il pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, mereka (para sahabat) bertanya: siapakah satu golongan itu wahai Rasulullah?, rasul menjawab: mereka itu yang mengikuti jalanku dan sahabat-sahabatku"

4. "والذي نفس محمد بيده لتفرقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، واحدة في الجنة وثنتان وسبعون في النار، قيل يارسول الله من هم؟ قال الجماعة"

Maknanya: "Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan Nya, sungguh ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan 72 lainnya masuk neraka, ditanya: siapakah mereka (ahluljannah) wahai Rasulullah? Rasul menjawab: mereka adalah al-jama'ah (mayoritas ummatku)"

5. "أوْصِيْكُم بِأصْحَابِيْ ثمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثمَّ الّذِيْنَ يَلُونَهُمْ"، وَفيْهِ "عـَليْكُمْ بِالجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقة فإنَّ الشّيْطانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أبْعَدُ فَمَنْ أرَادَ بُحْبُوحَة الجَنَّةَ فـلْيَلْزَمِ الجَمَاعَة". (رَوَاهُ التِرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَصَحَّحَهُ الحَاكِمُ)

Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian --mengikuti-- orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).

Dari hadits-hadits Rasulullah yang telah di kemukakan di atas, dapatlah kita pahami bahwa arti Ahlussunnah Wal Jama'ah sebenarnya adalah mayoritas ummat Muhammad yang mengikuti jalan Rasulullah dan para sahabatnya dalam hal keyakinan (aqidah). Dalam masalah ini mayoritas ummat Muhammad senantiasa akan terjaga kemurnian aqidahnya dari kesesatan hingga akhir zaman. Memang secara harfiyah rangkaian kata Ahlussunnah Wal Jama'ah tidak didapatkan dalam satu ayat al-Qur'an ataupun hadits, namun hadits-hadits di atas cukup memberikan pemahaman kepada kita akan definisi Ahlussunnah Wal Jama'ah.

b. Sejarah Dikenalnya Ahlussunnah Wal Jama'ah

Sejarah dikenalnya golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah tidak terlepas dari peran dua tokoh ulama Islam yang hidup pada pertengahan abad 3 hijriyah. Dua tokoh ulama tersebut adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari (W. 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (W. 333 H). Meskipun keduanya hidup di daerah yang berbeda, namum keduanya membawa ajaran yang sama yaitu Ahlussunnah Wal Jama'ah yang tidak lain adalah ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Baik al-Asy'ari atau al-Maturidi sebenarnya tidak mencetuskan mazhab atau ajaran baru, hanya saja al-Asy'ari dan al-Maturidi merumuskan dan menjelaskan kembali ajaran-ajaran Rasulullah dan para sahabatnya dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan yang akurat terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah dan kelompok-kelompok sesat lainnya.

Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi lahir dari keluarga sunni. Abu al-Hasan al-Asy'ari yang mempunyai nama lengkap Abu al-Hasan 'Ali bin Isma'il bin Abi Basyar Ishaq adalah keturunan Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat ternama Rasulullah. Pada kaum Abu Musa inilah turun ayat:

"يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم" (المائدة: 54)

Maknanya: "Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui" (Q.S. al-Maidah, 54).

Kemudian Rasulullah menepuk punggung Abu Musa seraya berkata: "Mereka adalah kaum ini". Setelah beberapa saat turunnya ayat ini, rombongan kabilah-kabilah dari negeri Yaman dengan jumlah yang sangat besar datang sowan terhadap Rasulullah. Mereka datang untuk belajar agama lebih mendalam kepada Rasulullah. Rasulullah kagum melihat antusias penduduk Yaman yang berbondong-bondong sowan terhadapnya seraya berkata: "Telah datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka adalah penduduk yang santun dan berhati lembut, (cahaya) iman (telah menerangi penduduk) Yaman…" (H.R. al-Bukhari).

Di samping mereka ingin mengetahui agama Islam lebih mendalam mereka juga menanyakan kepada Rasulullah perihal makhluk Allah yang pertama kali diciptakan, mendengar pertanyaan dari penduduk Yaman tersebut Rasulullah menjawab: "Allah ada pada azal (tidak bermula) dan tidak ada sesuatupun (pada azal) selain-Nya, dan 'arsy-Nya diciptakan di atas air" (H.R. al-Bukhari). Bunyi hadits ini menjelaskan kepada mereka bahwa Allah ada sebelum semuanya ada, Allah ada sebelum terciptanya 'arsy, langit, tempat, arah dan masa. Wujud Allah tidak bermula (azali) dan Ia tidak butuh kepada sesuatupun dari makhluk-Nya. Kemudian Rasul menjelaskan bahwa Allah menciptakan air terlebih dahulu sebelum 'arsy, artinya air adalah ciptaan Allah yang pertama kali.

Abu Musa al-Asy'ari juga adalah salah seorang sahabat Rasul yang fatwa-fatwanya dijadikan rujukan oleh sahabat-sahabat lainnya, ia juga mempunyai suara yang indah dalam melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an sehingga tidak heran jika orang-orang yang mendengarnya akan tersentuh merasakan getaran makna-makna indah yang terkandung dalam al-Qur'an karena keindahan suaranya. Nama al-Asy'ari dinisbatkan kepada al-Jamahir bin al-Asy'ar dan al-Asy'ar adalah keturunan Saba' yang lahir dan tinggal di negeri Yaman.

Ketika pembebasan Khaibar, Abu Musa bersama kaumnya yang berjumlah sekitar 50an hijrah ke negeri Habasyah, mereka tinggal bersama Ja'far bin Abi Thalib hingga kemudian mereka bersama-sama datang kepada Rasulullah. Abu Musa dikarunia keturunan yang shalihin hingga sampai keturunannya pada Abu al-Hasan al-Asy'ari.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa Abu al-Hasan al-Asy'ari lahir dari keluarga sunni, hanya kemudian ia belajar kepada tokoh utama Mu'tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba'i. Ia mendapatkan banyak pelajaran tentang paham Mu'tazilah lewat pengajian-pengajian yang disampaikan oleh al-Jubba'i hingga kemudian Abu al-Hasan menjadi pemimpin di kalangan mereka (kaum Mu'tazilah). Ini tidak lain karena kecerdasan akalnya dalam menangkap setiap doktrin yang disampaikan gurunya.

Pada usianya yang ke 40, ia mulai merasakan kegelisahan dalam pikirannya. Ia merenungi segala apa yang ia dapatkan dari gurunya, ia memohon kepada Allah ta'ala agar memberikan petunjuk dalam keyakinannya. As-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi'iyah al-Kubra menceritakan: Dalam perenungannya Abu al-Hasan menulis sebuah kitab yang beliau namakan dengan Al-Ibanah, dalam muqaddimah kitab tersebut beliau menyatakan:

"Wahai manusia, sesungguhnya aku menghindar dari kalian (selama ini), karena aku sedang melakukan pengkajian (dalil-dalil). Kemudian jelaslah bagiku bahwa dalil-dalil tersebut memiliki kekuatan yang seimbang. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah, kemudian Allah memberiku petunjuk agar berpegang pada apa yang telah aku tulis dalam kitab-kitabku ini, dan aku terlepas dari apa yang telah aku yakini, seperti aku terlepas dari pakianku ini"[2].

Dalam kitab yang sama as-Subki juga menyebutkan bahwa suatu ketika Abu al-Hasan tidur dan bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Dalam mimpinya Rasul berkata kepadanya:

"Wahai Ali (Abu al-Hasan al-Asy'ari) aku (Muhammad) tidak memerintahkanmu meninggalkan ilmu kalam, namun aku hanya menyuruhmu membela (nashru) mazhab yang telah disampaikan dariku (al-mazahib al-marwiyyah 'anni), karena itulah yang haq"[3].

Setelah itu kemudian hatinya menjadi tenang dan keyakinannya menjadi lurus dan mantab, ia menyatakan taubat dari doktrin-doktrin Mu'tazilah. Tepatnya pada hari Jum'at, di masjid jami' kota Bashrah ia naik keatas mimbar seraya berkata dihadapan jama'ah dengan suara yang lantang tanpa ragu:

"…siapapun yang telah mengenaliku, sungguh ia telah mengenaliku, dan siapa yang belum mengenaliku maka aku akan mengenalkan diriku, aku adakah fulan ibn fulan, dulu aku mengatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat mata dan perbuatan-perbuatan buruk adalah aku yang berbuat (tanpa ada kehendak Allah) kini aku taubat dengan sungguh-sungguh, keyakinanku berbeda dengan keyakinan Mu'tazilah, aku bantah mereka dan aku ungkap kejelekan-kejelekan mereka".

Pernyataan tegas al-Asy'ari itu membuat Mu'tazilah resah dan geram terhadapnya. Mereka yakin al-Asy'ari akan diterima oleh khalayak ummat. Terbukti ketika al-Asy'ari masih bergabung dengan Mu'tazilah, mereka dapat unjuk gigi karena dapat simpati dari ummat, namun ketika al-Asy'ari taubat dan keluar dari kelompok mereka, Mu'tazilah semakin ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya dan bahkan nyaris habis "diberantas" oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari. Semenjak itulah pengikut-pengikut al-Asy'ari dikenal dengan sebutan Asy'ariyyah atau Asya'irah.

Pengenalan istilah Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai suatu aliran atau mazhab baru nampak pada ashab al-Asy'ari (Asya'irah), seperti al-Baqillani (w. 403 H), al-Baghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H) al-Ghazali (w. 505 H) dan lainnya, hingga kemudian az-Zabidi menegaskan dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin (syarah Ihya' Ulumuddin) siapakah sesungguhnya Ahlussunnah Wal Jama'ah itu. Beliau mengatakan:

"إذَا أطْلِقَ أهْلُ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ فالمُرَادُ بِهِمْ الأشَاعِرَةُ وَالمَاتُرِيْدِيَّةُ".

Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6).

Penegasan az-Zabidi ini bukan hanya sekedar ungkapan kosong tanpa bukti, namun penegasan itu berdasarkan pada fakta yang ada pada waktu itu dan bahkan sampai saat ini. Kenyataannya ulama-ulama dari berbagai disiplin ilmu agama (ulama tafsir, hadits, bahasa dan lain-lain), raja-raja muslim yang hidup pada masa al-Asy'ari, setelahnya dan hingga sekarang dengan bangga menisbatkan namanya kepada al-Asy'ari. Jumlah mereka sangatlah banyak dan tidak terhitung. Ini adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa pengikut Abu al-Hasan al-Asy'ari adalah mayoritas ummat ini dan menyebar di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali negara Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam.

[1] . Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Beirut: Muassasah ar-Risalah, hlm. 1245

[2] . As-Subki, Abu Nashr Abdul Wahab ibn Ali ibn Abdul Kafi (w. 771 H), Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra, Tahqiq Mahmud Muhammad at-Thanahi dan Abdul Fattah Muhammad, Juz III, hlm. 347-348. lihat pula Muqaddimah al-Ibanah, hlm. 34.

[3] . Ibid., hlm. 348-349.

Petikan Materi Diklat Aswaja 2008

PC IPNU Kota Surabaya

Tidak ada komentar: